“BAB X PUTUSNYA PERKAWINAN”
Disusun Untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : FIQIH
MUNAKAHAT
Di
Susun Oleh
Nama : Muhammad Sidik
NPM : 13 511 302
Semester : V (Lima)
JURUSAN : Tarbiah
DOSEN : Ust Moh Nur Yahya, S.Pd.I
FAKULTAS : Pendidikan Agama Islam (S1)
UNIVERSITAS YAPIS PAPUA
TAHUN AJARAN 2015
BAB X
PUTUSNYA PERKAWINAN
2.1 Talak
Adalah lepasnya suatu ikatan
perkawinan dan berakhirnya hubungan perkawinan. Menurut istilah syarak, talak
adalah melepas tali perkawinan dan mengakhiri hubungan suami istri. Dalil
disyariatkan talak:
a. Dalam Alquran Allah berfirman:
الطَّلَاقُ مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌ
بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ....
“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu
boleh rujuk lagi dengan cara yang makruf atau menceraikan dengan cara yang
baik.” (QS.
Al-Baqarah:229)
b. Dalam sunnah banyak sekali hadisnya,
diantaranya sabda nabi, “Halal yang paling dimurka Allah adalah talak. Ibnu
Umar meriwayatkan bahwa ia menalak istrinya yang sedang menstruasi. Umar
bertanya kepada Rasulullah, beliau menjawab:
مُرْهُ فَلْيُرَاجِعْهَا ثُمَّ
لِيُمْسِكْهَا حَتَّى تَطْهُرَ ثُمَّ تَحِيْضَ ثُمَّ تَطْهُرَ ثُمَّ إِنْ شَاءَ
أَمْسَكَ بَعْدُ وَ إِنْ شَاءَ طَلَّقَ قَبْلَ
أَنْ
يَمَسَّ فَتِلْكَ اْلعِدَّةُ الَّتِي أَمَرَ اللهُ أَنْ تُطَلَّقَ النِّسَاءُ
Artinya:"Perintahkan ia kembali kemudian biarkan wanita sampai bersuci, menstruasi,
bersuci kemudian jika berkehendak wanita itu ditahan dan jika berkehendak
ditalak sebelum dicampuri. Demikian itu iddah yang diperintahkan Allah jika
menalak wanita.” (HR.
Muttafaq ‘Alaih).
c.
Dalam ijma’,
ulama sepakat bolehnya talak. Ungkapan tersebut menunjukkan bolehnya talak
sekalipun makruh. Akad nikah sebagaimana disebutkan dilaksanakan untuk
selamanya sampai akhir hayat.
2.1.2 Hukum Talak
Para ulama berbeda pendapat tentang
hukum talak. Talak hukumnya makruh, jika tidak ada yang menyebabkannya, karena
talak berarti kufur terhadap nikmat Allah. Talak hukumnya wajib, jika talak
tersebut bertujuan untuk menyelesaikan konflik yang terjadi antara suami dan
istri, jika masing-masing melihat bahwa talak adalah satu-satunya jalan untuk
menyelesaikan masalah. Talak hukumnya haram, jika talak yang dilakukan bukan
karena adanya tuntunan yang dapat dibenarkan. Karena hal itu akan membawa
mudharat bagi sang suami dan juga istrinya serta tidak memberikan kebaikan pada
keduanya.
Talak hukumnya mubah, jika untuk
menghindari bahaya yang mengancam salah satu pihak, baik itu suami ataupun
istrinya. Talak hukumnya sunnah, jika dilakukan terhadap seorang istri yang
telah berbuat zhalim kepada hak-hak Allah yang harus diembannya, seperti shalat
dan kewajiban-kewajiban lainnya, dimana berbagai cara telah ditempuh oleh sang
suami untuk menyadarkannya, akan tetapi istri tidak menghendaki untuk perubahan
itu. Rasulullah bersabda: ”Wanita yang baik seperti burung gagak yang
putih kedua sayap dan kedua kakinya”. Hadits ini sindiran kelangkaan
wujudnya Al-A’shamm artinya putih kedua sayapnya atau kedua kakinya dan atau
salah satunya.”
2.1.3 Rukun Talak
A. Suami
Hak talak hanya dimilki oleh
laki-laki karena ia lebih bisa mengendalikan emosi, dan lebih sanggup memikul
beban-beban kehidupan. Ulama sepakat bahwa suami diperbolehkan menceraikan
istrinya dan talaknya diterima apabila ia berakal, baligh, dan berdasarkan
pilihan sendiri.
Lebih jelasnya ada beberapa masalah
penting talak yang sering terjadi di tengah-tengah masyarakat , yaitu sebagai
berikut:
1). Talak karena dipaksa
Tidak sah talaknya orang yang
dipaksa tanpa didasarkan kebenaran, dengan alasan karena sabda Nabi:
رفع عن أمتي الخطأ والنسيان وما
استكرهوا عليه
Artinya: “Terangkat dari
umatku kesalahan, lupa dan dipaksa.”
Paksaan adalah ungkapan yang tidak benar, serupa
dengan ungkapan kufur. Sabda Nabi:
لاطلاق في إغلاق
Artinya: “Tidak ada talak sah pada orang tertutup.”
Maksud tertutup disni orang yang
terpaksa, nama itu diberikan karena orang yang terpaksa itu tertutup segala
pintu, tidak dapat keluar melainkan harus talak. Adapun jika pemaksaan itu
didasarkan kepada kebenaran seperti kondisi keharusan talak yang dipakaan oleh
hakim, hukumnya sah karena paksaan ini dibenarkan. Tsabit Al-A’raj
berkat: “Aku pernah bertanya kepada Ibnu Umar dan Ibnu Zubair tentang
talaknya orang yang terpaksa,” mereka menjawab, “Tidak apa-apa”.
2). Talak Orang yang Mabuk
Jumhur ulama mengatakan bahwa talak
yang diucapkan oleh orang mabuk hukumnya sah, dan kedua pasangan tersebut harus
dipisahkan. Alasannya, mabuk yang dialaminya adalah perbuatan dan keinginannya
sendiri.
3). Talak Orang yang Sedang Marah
Orang yang sedang marah sampai
akalnya tidak berfungsi, kemudian ia menjatuhkan talak terhadap sang istri,
maka talaknya tidak sah dan tidak menyebabkan perceraian diantara keduanya.
Biasanya orang yang sedang marah besar tidak menyadari apa yang diucapkan
karena ia sudah dikuasai emosi dan nafsu. Namun jika marahnya terkendali
sehingga akal seseorang yang mengalaminya masih berfugsi dengan baik, maka
talaknya sah dan keduanya harus dipisahkan.
4). Talak yang Diucapkan tanpa Niat (Kesengajaan)
Jumhur ulama berpendapat bahwa talak
yang diucapkannya adalah sah, dan keduanya harus dipisahkan. Sesuai dengan
sabda Rasulullah Saw, “Tiga perkara yang seriusnya adalah serius, dan
candanya adalah serius yaitu nikah, talak, dan rujuk.”(HR. Ahmad, Ibnu
Majah dan Tirmidzi). Pendapat selanjutnya menurut Muhammad Baqir, Ja’far
Shadiq, serta salah satu pendapat Imam Ahmad dan Imam Malik bin Anas menegaskan
bahwa talak yang diucapkan tanpa adanya unsur kesengajaan maka hukmunya tidak
sah, dan keduanya tetap dalam ikatan pernikahan. Pendapat ini berdasarkan QS.
Al-Baqarah: 227 dan Sabda Rasulullah bahwa, “Amalan itu tergantung
niat.” (HR. Muslim)
5) Talak Orang yang Terkejut
Talak orang yang latah, sehingga ia
mudah mengucapkan sesuatu tanpa sadar dan terjadi secara spontan. Maka talak
yang diucapkannya adalah tidak sah, dan keduanya tetap berada dalam ikatan
pernikahan.
6) Talak Anak Kecil
Imam Malik berpendapat bahwa talak
yang diucapkan oleh anak kecil tidak berlaku sampai ia mencapai usia baligh.
7) Talak Bergurau
Kebanyakan ahli fiqih sependapat bahwa
talak yang diucapkan dengan bergurau atau main-main dianggap jatuh talaknya,
sama seperti nikah yang dilakukan dengan bergurau juga sah hukumnya.
B. Istri
Yaitu orang yang berada di bawah
perlindungan suami dan ia adalah obyek yang akan mendapatkan talak.
C. Sighat Talak
Adalah lafal yang menyebabkan
terputusnya hubungan pernikahan. Sighat talak terbagi menjadi dua, yaitu mutlak
dan muqayyad.
1) Mutlak
Sighat mutlak adalah lafal talak
yang diucapkan tanpa syarat apapun. Sighat talak mutlak dibagi menjadi dua:
a. Sighat sharih
Adalah lafal talak yang dapat
dipahami maknanya saat diucapkan, dan tanpa mengandung makna lain. Madzhab
Maliki dan Hanafi mengatakan bahwa lafal yang masuk dalam kategori sebagai
lafal sharih hanyalah kata-kata thalaq. Sedangkan Madzhab Syafi’I dan Zhahiri
mengatakan lafal Sharih ada tiga, yaitu cerai (talak), pisah (firaq), dan
terlepas (sarah). Jika seseorang menggunakan salah satu lafal tersebut kemudian
mengatakan aku bermaksud yang lain, hanya saja lisanku terlanjur
mengucapkannya, maka tidak diterima perkataan orang tersebut karena menyalahi
lahirnya. hal itu urusan antara dirinya dan Allah karena bisa saja diartikan
sebagai pengakuannya, namun Rasulullah bersabda: “Aku menghukumi yang
lahir dan Allahlah yang menguasai yang tersembunyi”.
b. Sighat kinayah
Adalah
talak yang yang mangandung banyak makna, sehingga bisa ditakwilkan dengan makna
yang berbeda-beda. Misalnya urusanmu di tanganmu, pergilah engkau,
pulanglah engkau kepada keluargamu, atau kata-kata sindiran lainnya. Jadi,
bahwa talak yang diucapkan suami dengan jelas terhadap istri, maka talaknya
menjadi sah, sedang talak yang diucapkan suami dengan menggunakan bahasa
kinayah jika diniatkan mentalak maka talaknya dihukumi sah, namun jika tanpa
maksud tujuan mentalak merupakan ucapan sia-sia belaka (tidak menjadi sebab
terjadinya talak).
2) Muqayyad
Kadang-kadang
suami mengucapkan talak kepada istrinya dengan embel-embel kata tertentu berupa
syarat atau pengecualian. Diantaranya:
a. Kehendak
Misalnya, seorang suami berkata,
“Engkau saya talak jika Allah berkehendak”. Para ulama berbeda pendapat
mengenai hukum talak muqayyad jenis ini, Imam Malik bin Abbas mengatakan tetap
sah, sedangkan syarat dan pengecualian yang diucapkan tidak ada pengaruhnya
sama sekali terhadap keabsahan talak. Alasannya karena talak adalah perbuatan
hari ini, dan tidak berkaitan dengan perbuatan-perbuatan yang akan terjadi pada
masa yang akan datang. Imam Abu Hanifah dan imam Syafi’I berpendapat bahwa jika
seorang laki-laki mengaitkan kata talak dengan kehendak Allah, maka talak itu
tidak berlaku, sampai syarat dan pengecualiannya itu berlaku. Alasannya karena
talak yang merupakan perbuatan hari ini, berkaitan dengan perbuatan-erbuatan
yang akan terjadi pada masa yang akan datang.
b. Perbuatan di Masa Depan
Terdapat tiga klasifikasi, pertama
berkait dengan perbuatan yang mungkin atau tidak mungkin terjadi. Misalnya
suami berkata, “Jika Ahmad masuk ke rumah maka engkau akan ditalak”. Ulama bersepakat
jika syarat ini terpenuhi maka talak berlaku dan sebaliknya. Kedua berkaitan
dengan perbuatan yang pasti terjadi. Misalnya suami berkata,”Jika matahari
terbit maka engkau akan ditalak”. Imam malik mengatakan hukum talak berlaku
seketika itu, karena ia mengaitkan dengan sesuatu yang pasti terjadi. Ketiga,
berkaitan dengan perbuatan yang biasanya terjadi, namun kadang-kadang juga
tidak terjadi. Misalnya suami berkata, “Jika engkau haid maka engkau akan
ditalak”. Imam Syafi’i mempunyai dua pendapat, pertama talak tersebut langsung
berlaku karena hukumnya sama dengan sesuatu yang pasti terjadi. Kedua bahwa
talak tersebut baru berlaku jika syaratnya baru terpenuhi.
c. Perbuatan atau Sesuatu yang Tidak
Jelas
Para ulama sepakat bahwa seseorang mengaitkan
talak dengan sesuatu yang tidak jelas dan tidak diketahu keberadaannya maka
hukum talaknya sah. Mereka menganggap pelakunya bermain-main dengan syarat yang
ditetapkan. Contohnya suami yang mengatakan, “Jika hari ini Allah menciptakan
seekor ikan di lautan terdalam dengan bentuk seperti ini maka engkau akan
ditalak’. Sedangkan jika dikaitkan dengan sesuatu yang tidak jelas, namun bisa
dibuktikan kenyataannya, maka hukum talak bergantung pada syarat yang ada di
dalamnya. Misalnya suami berkata, “Jika anak yang lahir ini perempuan maka
engkau akan ditalak”. Hukum talak sah jika yang lahir anak perempuan, dan
sebaliknya.
2.1.4 Talak dengan Tulisan, Isyarat dan Utusan
A. Tulisan
Para ulama memberikan dua syarat
utama keabsahan talak dengan tulisan. Pertama harus jelas dan dapat dibaca.
Kedua mengandung tujuan yang jelas. Misalnya menulis, “Wahai Siti, engkau saya
talak.”. Hal seperti itu maka talaknya sah.
B. Isyarat
Metode ini hanya berlaku bagi orang
yang bisu dan tidak dapat menulis. Kedudukan talak dengan menggunakan bahasa
isyarat bagi orang yang bisu adalah sama dengan melafalkannya bagi orang yang
mampu berbicara. Namun jika ia mempunyai kemampuan menulis maka ia harus
mendahulukan menulis, karena hal itu lebih mudah dipahami dan dimengerti oleh
orang lain. Bagi orang yang dapat berbicara tapi menggunakan isyarat ketika
menalak, maka ada dua pendapat. Pertama talaknya tidak sah karena isyarat yang
diterima dan menempati ucapan bagi haknya orang bisu diposisikan karena
darurat, sedangkan disini tidak ada darurat. Kedua, isyarat orang yang dapat
berbicara dikategorikan talak sindiran (kinayah) karena secara global memberi
pemahaman talak.
C.Utusan
Banyak perbedaan mengenai boleh
tidaknya seorang suami mewakilkan talak. Jumhur ulama mengatakan mengatakan
bahwa seorang suami boleh mewakilkan talak kepada orang lain yang
dipercayainya, sebagaiman ia bisa melakukannya sendiri. Mahdzab Zhahiri
mengatakan bahwa seorang suami tidak boleh mewakilkan talak kepada orang lain.
Jika ia melakukannya maka talaknya tidak sah.
2.1.5 Macam-Macam Talak
Ditinjau dari bentuk ucapan talak
dan lafalnya, talak terbagi menjadi dua, yaitu talak dengan terang-terangan
atau bahasa jelas (sharih) dan talak dengan sindiran (kinayah). Ditinjau dari
segi syariatnya, talak terbagi menjadi talak sunni dan bid'iy. Ditinjau dari
segi waktu terjadinya, terbagi menjadi talak munjizahdan talak mu'allaq.
Ditinjau dari segi pengaruhnya dalam mengakhiri ikatan suami istri, talak
terbagi menjadi talak raj'i dan ba'in.
2.1.5.1 Secara garis besar ditinjau dari boleh
atau tidaknya rujuk kembali, talak dibagi menjadi dua macam, yaitu:
a.Talak Raj'i
Yaitu talak dimana suami masih
mempunyai hak untuk merujuk kembali istrinya, setelah talak itu dijatuhkan
dengan lafal-lafal tertentu, dan istri sudah benar-benar digauli. Hal ini
sesuai dengan firman Allah dalam QS. Al-Talak ayat 1.
Allah Swt memperbolehkan talak hanya
sampai dua kali agar laki-laki tidak leluasa menceraikan istrinya apabila
terjadi perselisihan. Bila tidak dibatasi mungkin sekali laki-laki
sebentar-sebenar menceraikan istrinya hanya karena ada perselisihan sekecil
apapun. Setelah aturan ini diturunkan Allah Swt, maka laki-laki sadar bahwa
perceraian itu tidak boleh dipermainan begitu saja. Paling banyak talak hanya
diperbolehkan dua kali seumur hidup, atau selama pergaulan suami istri. Bila
perceraian sudah sampai tiga kali, berarti telah melampui batas dan ketika itu
tertutuplah pintu untuk kembali.Aturan talak tersebut juga menyebabkan wanita
insaf dan sadar bahwa perceraian dengan suaminya itu adalah suatu aib atas
dirinya dlam panangan masyarakat. Dengan demikian, mereka dapat
mengelakkan sesuatu yang mungkin menjadi perselisihan dalam masalah rumah
tangga.
b. Talak Ba’in
Talak Ba’in adalah talak yang
memisahkan sama sekali hubungan suami istri. Talak ba’in ini terbagi menjadi
dua bagian:
1. Talak Ba’in Shughra, ialah talak yang menghilangkan
hak-hak rujuk dari bekas suaminya, namuntidak menghilangkan hak nikah baru
kepada istri bekas istrinya itu. Talak ini juga dapat diartikan
talak yang dijatuhkan seorang suami kapada istrinya, yaitu talak satu atau dua,
kemudian ia tidak rujuk kepadanya sampai masa iddahnya habis. Yang termasuk
dalam talak ba’in shughra ialah:
a. Talak yang dijatuhkan suami kepada
istri yang belum terjadi dukhul (setubuh(.
b. Khulu’
Hukum talak ba’in shughra:
a. Hilangnya ikatan nikah antara suami
dan istri.
b. Hilangnya hak bergaul bagi suami
istri termasuk berkhalwat (menyendiri berdua-duan).
c. Masing-masing tidak saling mewarisi
manakala meninggal.
d. Bekas istri, dalam masa iddah berhak
di rumah bekas suaminya dengan berpisah tempat tidur dan mendapat nafkah.
e. Rujuk dengan akad dan mahar yang
baru.
2. Talak Ba’in kubra, ialah talak yang dijatuhkan
seorang suami kepada istri sebanyak tiga kali.sebagian ulama berpendapat yang
termasuk talak bain kubra adalah segala macam yang mengandung unsur-unsur
sumpah seperti ila, zihar, dan li’an.
Hukum talak bain kubra:
a. Sama dengan hukum talak bain shughra
bagian a,b,dan d.
b. Suami haram kawin lagi dengan
istrinya, kecuali bila istri telah kawin dengan laki-laki lain.
2.1.5.2 Ditinjau dari masa dijatuhkannya,
talak dibagi menjadi dua:
a. Talak Sunni
Merupakan talak yang terjadi sesuai
dengan ketentuan agama, yaitu seorang suami mentalak istrinya yang telah
dicampurinya dengan sekali talak di masa bersih dan belum ia sentuh kembali di
masa bersihnya.( Berdasarkan QS. Al Baqarah:229)
syarat talak sunni:
1. Istri yang ditalak sudah pernah
dikumpuli, bila talak dijatuhkan pada istri yang belum pernah dikumpuli, tidak
termasuk talak sunni.
2. Istri dapat segera melakukan idah
suci setelah ditalak, yaitu istri dalam keadaan suci dari haid.
3. Talak itu dijatuhkan karena istri
dalam keadaan suci itu suami tidak pernah mengumpulinya.
b. Talak Bid'i
Adalah talak
yang dijatuhkan pada waktu dan jumlah yang tidak tepat. Talak bid'i
merupakan talak yang dilakukan bukan menurut petunjuk syariah, baik mengenai
waktunya maupun cara-cara menjatuhkannya. Dari segi waktu ialah talak terhadap
istri yang sudah dicampuri pada waktu ia bersih atau terhadap istri yang sedang
haid. Dari segi jumlah talak ialah tiga talak yang dijatuhkan sekaligus. Ulama
sepakat bahwa talak bid'i, dari segi jumlah talak ialah tiga sekaligus, mereka
juga sepakat bahwa talak bid'i itu haram berdosa. Syarat talak bid'i
antara lain:
1. Talak yang dijatuhkan terhadap istri
pada waktu istri tersebut haid
Jumhur ulama mengatakan bahwa talak tersebut sah dan
ia harus dirujuk kepada istrinya.
2. Talak yang dijatuhkan terhadap istri
pada waktu istri dalam keadaan suci, tetapi sudah pernah dikumpuli suaminya
ketika dia dalam keadaan suci tersebut. Firman Allah Swt. Dalam
surat At-Talak :1 berkenaan dengan hal di atas yang artinya:"Wahai Nabi
apabila kamu menceraikan istri-istri, maka ceraikanlah dalam keadaaan
iddah."
3. Talak yang dijatuhkan terhadap istri
dengan talak tiga dalam satu ucapan
Imam Malik mengatakan bahwa jika seorang suami
mentalak istrinya sebanyak tiga kali dalam satu waktu maka itu tidak sesuai
dengan sunnah.
2.1.5.3 Talak ditinjau dari segi waktu terjadinya:
a. Talak munjaz dan mu'allaq
Talak
munjaz adalah talak yang diberlakukan terhadap istri tanpa adanya penangguhan.
Misalnya seorang suami mengatakan kepada istrinya: "kamu telah
dicerai." Maka istri telah ditalak dengan apa yang telah diucapkan oleh
suaminya. Sedangkan talak mu'allaq adalah talak yang digantungkan oleh suami
dengan suatu perbuatan yang akan dilakukan oleh istrinya pada masa mendatang.
Seperti suami mengatakan kepada istrinya:"Jika kamu berangkat kerja,
berarti kamu telah ditalak." Maka talak tersebut berlaku sah
dengan keberangkatan istrinya untuk kerja.
2.1.6 Prosedur Permohonan Talak
1. Pemohon atau kuasanya dating ke
kantor kelurahan untuk mendapatkan Surat Keterangan Lurah (Peraturan Menteri
Agama Nomor 3 Tahun 1975 pasal 3 ayat 1).
2. Pemohon atau kuasanya dengan membawa
surat keterangan Lurah datang ke Pengadilan Agama untuk:
a. Mengajukan permohonannya secara
tertulis atau lisan kepada panitera (PP Nomor 9/75 pasal 14, Peraturan Menteri
Agama 3/75 pasal 12,13, 17, dan 20, HIR pasal 118. Reg. pasal 142).
b. Membayar persekot biaya perkara
kepada bendaharawan khusus (Stb. 1937 Nomor 116 dan 610 pasal 4 jis Stb. 1937
Nomor 637, 638/639 pasal 4 dan 10 PP Noor 45/1957 pasal 5)
3. Pemohon atau kuasanya menghadiri
sidang Pengadilan Agama berdasarkan surat panggilan Panitera (PP Nomor 9 Tahun
1975 pasal 26, 27, dan 28 jo. HIR pasal 121, 124 dan 125).
4. Pemohon atau kuasanya wajib
membuktikn kebenaran isi permohonannya, berdasarkan alat-alat bukti
surat-surat, saksi-saksi, pengakuan salah satu pihak, persangkahan hakim dan
sumpah salah satu pihak ( HIR pasal 131 dan 132).
5. Pengadilan agama mengeluarkan
ketetapan baik permohonan itu diterima maupun ditolak, digugurkan, ataupun
dicabut. (Instruksi Dir. Jen. Bimas Islam Nomor D/IV/INS/117/1975 berdasarkan
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal 2 dan 17).
6. Pemohon dan termohon memperoleh
salinan penetapan Pengadilan Agama atau SKT 3 khusus untuk pemohon dan termohon
dalam ikrar talak. (Stb. 1937 dan 116 dan 610 pasal 5 jo. PP Nomor 45/1975 ayat
1 dan PP Nomor 9/1975 pasal 17).
2.1.7 Prosedur Gugatan
1. Penggugat atau kuasanya datang ke
Kantor Kelurahan untuk memperoleh surat keterangan tempat tinggal dari
kelurahan ( Peraturan Menteri Agam Nomor 3/1975 pasal 3).
2. Penggugat atau kuasanya dengan
membawa surat keterangan Lurah dating ke Pengadilan Agama untuk mengajukan gugatan
tertulis atau lisan kepada Panitera dan untuk membayar persekot biaya perkara.
3. Penggugat atu tergugat atau
masing-masing kuasanya menghadiri sidang Pengadilan Agama berdasarkan surat
panggilan panitera.
4. Majelis Hakim memeriksa perkara
dengan tahap-tahap sidang sebagai berikut: Membaca surat gugatan oleh penggugat
tergugat, replik penggugat duplik tergugat, pemeriksaan alat-alat bukti
penggugat dan tergugat, kesimpulan penggugat dan tergugat dan putusan Hakim
(HIR pasal 131 dan 132).
5. Putusan Pengadilan Agama (vonnis).
Dalam hal perkara taklik talak, atau perkara tidak diterima atau ditolak atau
digugurkan oleh Majelis Hakim atau dicabut dalam persidangan. Pengadilan Agama
mengeluarkan penetapan.
6. Penggugat wajib membuktikan
kebenaran dari isi gugatannya berdasarkan alat-alat bukti: surat-surat,
saksi-saksi, pengakuan salah satu pihak, persengkaan Hakim dan sumpah salah
satu pihak (HIR pasal 16).
7. Kepada penggugat dan tergugat
diberikan salinan putusan Pengadilan Agama.
8. Kepada penggugat dan tergugat
diberikan surat keterangan bahwa putusan Pengadilan Agama telah mempunyai
kekuatan hokum yang tetap.
9. Untuk perkara perceraian Pengadilan
Agama meminta pengukuhan kepada Pengadilan Negeri atas putusannya yang telah
mempunyai kekuatan hokum yang tetap. (Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal 63
jo. PP No. 9/1975 Pasal 36).
10. Pihak yang menang perkara yang ada
hubungannya dengan hak kebendaan dengan bantuan Pengadilan Agama dapat meminta
executoir verklaring kepada pengadilan Negeri, apabila putusan itu tidak
dijalankan secara sukarela (Stb. Nomor 116 dan 610 pasal 2aayat (3) jis. Stb.
1937 nomor 637 dan 638/639 pasal 3 dan PP Nomor 45/1975 pasal 4 ayat 3.
2.1.8 Prosedur Banding
1. Pembanding atau kuasanya dating ke
pengadilan agama untuk menerima keputusan Pengadilan Agama dan menyatakan
kehendak banding dalam masa 14 hari setelah bersangkutan menerima
keputusan/ketetapan, atau dalam masa 30 hari setelah keputusan atau
ketetapandiumumkan di papan pengumuman Pengadilan Agama.
2. Membayar biaya perkara banding.
3. Pembanding atau kuasanya menyerahkan
memori banding ke Pengadilan Agama untuk diteruskan ke Pengadilan Tinggi Agama.
4. Apabila berkas banding sudah dikirim
ke Pengadilan Tinggi Agama, maka pembanding atau kuasanya dapat mengirim memori
banding langsung ke Pengadilan Tinggi Agama.
5. Pengadilan Tinggi Agama dapat
mengeluarkan produk keputusan sela atau keputusan akhir.
6. Keputusan yang telah mempunyai
kekuasaan hukum yang tetap dimintakan pengukuhan pada Pengadilan Negeri.
2.1.9 Prosedur Kasasi
1. Pihak yang merasa keberatan dengan
keputusan Pengadilan Tinggi Agama datnag ke Pengadilan Tinggi Agama untuk
meenyatakan kehendak kasasi kepada Mahkamah Agung dalam tempo:
a. Tiga minggu untuk Jawa dan Madura
b. Enam minggu untuk luar Jawa dan
Madura
c. Sekarang batas waktu hanya 4 hari
2. Membayar kasasi.
3. Menyerahkan risalah kasasi dalam
tenggang waktu dua minggu terhitung dari berikutnya permohonan kasasi, yang
merupakan syarat untuk diterimanya kasasi oleh Mahkamah Agung dengan salah satu
atau ketiga alassan hukum tersebut di bawah ini:
a. Karena pengadilan lalai memenuhi
syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan.
b. Karena pengadilan melampui batas
wewenangnya.
c. Karena pengadilan salah menerapkan
atau mellanggar peraturan-peraturan hukum yang berlaku.
4. Pihak termohon kasasi atau kuasanya
datang ke Pengadilan Agama untuk menyerahkan kontra risalah kasasi dalam tempo
dua minggu terhitung hari berikutnya diterimanya risalah kasasi.
5. Berkas kasasi paling lambat satu
bulan sejak permohonan kasasi diterima di Pengadilan Agama, oleh Pengadilan
Agama dikirimkan ke Mahkamah Agung dengan meberi tembusan ke Pengadilan Tinggi
Negeri.
6. Mahkamah Agung memeriksa perkara
kasasi tanpa dihadiri pemohon dan termohon kasasi (Peraturan Mahkamah Agung
Nomor 1 Tahun 19770 tentang kasasi untuk Peradilan militer dan Peradilan Agama.
7. Salinan keputusan Mahkamah Agung
dikirimkan kepada para pihak melalui Pengadilan Agama.
2.2 Khuluk atau Mubara’ah
Khuluk adalah hasrat bercerai dari
istri karena tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, sedangkan mubara’ah
artinya baik suami ataupun istri sama-sama membebaskan diri. Dimana syarat
dalam mubara’ah yaitu harus ada persetujuan bebas dari suami dan istri
tersebut, serta pemberian iwadh (pembayaran sejumlah uang) oleh istri kepada
suami sebagai penebus / pengembalian mahar yang dulu pernah diterima istri,
sedangkan suaminya memberikan kepada istrinya suatu khulu’. Khulu’ atau
mubara’ah diatur dalam QS. Al-Baqarah: 229. Pemutusan hubungan perkawinan atas
dasar persetujuan kedua belah pihak merupakan keistimewaan dari hukum
islam. Karena sebelum islam si istri dalam praktiknya tidak mempunyai
apapun juga untuk minta diceraikan. Pemberian kompensasi harta dalam
khulu’ bahwasanya seorang istri boleh memberikan kompensasi lebih dari mahar
yang diterimanya. Namun juga boleh sama atau kurang dari kadarnya. Sifat
kompensasi harta harus jelas, baik sifat maupun bentuknya.
Menurut jumhur ulama yang berhak
malakukan Khulu’ adalah perempuan yang telah berakal. Jika ia budak
wanita maka ia tidak bisa melakukannya kecuali dengan izin tuannya. Selanjutnya
untuk khulu’ atas permintaan orang lain menurut Abu Tsaur hukumnya adalah haram
dan tidak boleh dilakukan. Selain itu, khulu jenis ini juga menunjukkan sebuah
bentuk kebodohan. Seorang perempuan yang telah dikhulu’ maka ia harus menjalani
masa iddah. Jumhur ulama berpendapat bahwa masa iddah adalah tiga kali haid.
Namun mahzab hambali berpendapat masa iddah adalah satu kali haid.
2.3 Fahisah
Fahisah menurut QS. An-Nisa: 15
ialah perempuan yang melakukan perbuatan keji atau perbuatan buruk yang
memalukan keluarga, seperti perbuatan mesum, homo seksual, lesbian, dan
sejenisnya. Kata fasihah di dalam ayat lain dalam Al-Quran dihubungkan dengan
penyelewengan dalam hubungan seks dan perzinaan. Apabila terjadi peristiwa yang
demikian maka suami dapat bertindak dengan mendatangkan empat orang saksi
laki-laki yang adil yang memerikan kesaksian tentang perbuatan itu, apabila
terbukti benar maka kurunglah wanita itu dalam rumah sampai mereka menemui
ajalnya. Dijelaskan dalam QS. An-Nisa’:135 tentang kurungan, yaitu sampai Allah
memberikan petunjuk kepadanya, sehingga apabila kelak istri tersebut sadar dan
bertaubat ingin menjadi orang yang baik-baik dia harus dibebaskan. Kata fahisah
dalam ayat lain dalam Al-Quran terutama dihubungkan dengan penyelewengan dalam
hubbungan seks atau perzinaan.
2.4 Fasakh
Adalah diputuskannya hubungan
perkawinan (atas permintaan salah satu pihak) karena menemui cacat celanya pada
pihak lain atau merasa tertipu atas hal-hal yang belum diketahui sebelum
berlangsungnya perkawinan. Perkawinan yang telah ada adalah sah dengan segala
akibatnya dan dengan difasakhkannya oleh hakim Pengadilan Agama maka bubarlah hubungan
perkawinan itu. Hal ini berarti pelaksanaan putusnya hubungan perkawinan dalam
hal pihak lain merasa tertipu dalam perkawinan itu dan memajukan
permintaann kepada Hakim Pengadilan Agama.
Salah satu hadits Rasul yang
membolehkan seorang wanita yang sudah dinikahi baru diketahui bahwa dia tidak
sekufu, untuk memilih tetap diteruskan hubungan perkawinannya itu atau apakah
dia ingin difasakhkan, diriwayatkan oleh Ibnu Majah. Atsar, Umar bin
Khattab pernah memfasakhan suatu perkawinan pada masa beliau menjadi khalifah
karena penyakit bershak (semacam penyakit menular) dan gila. Rawahul
Daruquthni. Fasakh ada yang memerlukan pengadilan seperti karena istri
musyrik (bukan ahli kitab), dan fasakh yang tidak melalui putusan pengadilan
seperti fasakh yang ada ha-hal yang cukup jelas. Misalnya diketahui mahram
antara suami istri karena hubungan susuan.
2.5 Illa’
Merupakan sumpah suami bahwa tidak
akan mencampuri istrinya dan dia tidak menalak atau menceraikan istrinya
sehingga membuat istrinya menderita. Illa’ adalah salah satu bentuk pemutusan
hubungan perkawinan yang terdapat dalam Al-Quran suatu keadaan yang terdapat
dalam masyarakat antara lain di tanah Arab. Illa’ biasanya terjadi dalam
soal balas dendam keluarga, atau peneguhan niat untuk mencapai suatu tujuan.
Orang-orang arab dahulu sering bersumpah tidak akan mencampuri istrinya kalu
dendamnya belum terbalas. Kala illa’ terjadi, maka harus ditunggu empat bulan
untuk berpikir yaitu apakah menjatuhkan talak atau cerai dan atau kembali
baik-baik kepada istrinya dengan membayar kaffarah. Illa’ dijelaskan dalam QS.
Al-Baqarah:226. Jenis sumpah dalam illa’ menurut imam Syafi’i ditetapkan
berdasarkan sumpah yang sesuai dengan tuntunan syariat, yaitu sumpah dengan
atas nama Allah Swt atau salah satu sifatnya.
Imam Syafi’i mengqiyaskan antara
sumpah sumpah illa’ dengan sumpah yang menyebabkan kafarat. Keduanya sama-sama
menyebabkan terjadinya kafarat sehingga kandungan illat hukumnya pun sama.
Berkait dengan hal itu jika seorang suami tidak menggauli istrinya dengan tanpa
menyatakan sumpah, maka jumhur ulama menegaskan bahwa hukum tidak melakukan
hubungan biologis yang tanpa sumpah tidak sama dengan illa’ karena di dalamnya
tidak ada lafal sumpah. Sedangkan menurut Imam Malik, perbuatan tersebut
tergolong illa’ bila diniatkan untuk menyiksa sang istri. Adapun jenis talak
akibat illa’ menurut Imam Malik bin Anas dan Imam Syafi’I adalah raj’i, kecuali
ada dalil yang menunjukkan bahwa talak dalam illa’ tergolong ba’in.
kemudian jika seorang suami yang
melakukan illa’ enggan rujuk kepada istrinya dan tidak mau menalaknya, maka
hakim yang harus menetapkan hukum talak. Sebab, jika hakim tidak melakukan ini
maka istri tersebut akan tetap berada dalam mudharat. Masa iddah dalam masalah
illa’ terdapat perbedaan dikalangan ulama. Jumhur ulama mengatakan bahwa istri
tersebut harus menjalani masa iddah karena hukumnya sama dengan para istri yang
ditalak oleh suami mereka. Mereka berpegang pada keumuman dalil yang menyatakan
bahwa iddah itu wajib dijalani oleh setiap perempuan yang ditalak. Namun Jabir
bin Abdullah dan para ulama lainnya menyatakan bahwa itri tersebut tidak harus
menjalani masa iddah jika selama empat bulan yang dilalui telah
mengalami tiga kali haid. Cara mencabut sumpah illa menurut Imam al-Hadawiyah
yaitu dengan kata-kata. Misalnya, “Saya mencabut sumpah saya.” Sebagian ulama
berpendapat bahwa cara mencabut sumpah illa’ adalah dengan berhubungan badan
dengan sang istri.
2.6 Zhihar
Merupakan sumpah suami bahwa
istrinya itu sama dengan punggung ibunya. Menyamakan istri dengan punggung
ibunya berarti memandang istri sebagai mahram yang tidak halal dikawini. Suami
yang mengatakan demikian kepada istrinya berarti ia telah menceraikannya.[26] Zhihar ini sebagai suatu lembaga
yang dapat dijadikan alasan untuk memutuskan hubungan perkawinan yang diatur
dalam QS. Mujaddalah:1-4. Adapun lafal Zhihar menurut Imam Malik yaitu
mengatakan bahwa jika seorang suami menyamakan salah satu anggota badan
istrinya (selain punggung dengan sang ibu, atau dengan salah satu seorang
mahramnya.
Sanksi yang diterima oleh seorang
laki-laki yang menzhihar istrinya yaitu tidak boleh berhubungan badan dengan
istri dan membayar kafarat. Bentuk-bentuk kafarat dalam zhihar yaitu memerdekan
budak, berpuasa selama dua bulan berturut-turut, atau memberi makan kepada enam
puluh orang miskin.
2.7 Li’an
Adalah sumpah laknat yang didalamnya
terdapat pernyataan bersedia menerima laknat Tuhan.[28] Hal ini terjadi apabila suami
menuduh istri berbuat zina, padahal tidak mempunyai saksi kecuali dirinya
sendiri, seharusnya ia dikenai hukuman menuduh zina tanpa saksi yang cukup,
yaitu dera 80 kali. dasar hukumnya pada QS. An-Nuut:4 dan 6. Hadis Rasulullah
yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari berasal dari Jalal ikramah dari Ibnu Abbas
bersabda Rasulullah Saw:” Bahwa orang yang saling melaknati (tuduh
menuduh) dihukum fasakh nikahnya.”
2.8 Murtad (Riddah)
Apabila salah seorang dari suami dan
istri keluar dari agama islam atau murtad maka putuslah hubungan perkawinan
mereka. Dasar hukumnya dapat diambil i’tibbar dari QS. Al-Baqarah: 22, yaitu
“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.
Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun
dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan
wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin
lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke
neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah
menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka
mengambil pelajaran.”
Ayat tersebut melarang menikah
baik laki-laki dengan wanita maupun sebaliknya wanita dengan laki-laki yang
tidak beragama islam. Di samping itu QS. Al-Baqarah: 229 dapat digunakan karena
salah satu pihak tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah.